Powered By Blogger

Sabtu, 12 Maret 2011

Uang-Fasilitas Melimpah, Sudah Duduk Ogah Turun

SEWAKTU saya masih duduk di bangku SD, guru saya mengajarkan pepatah yang selalu saya ingat: Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Pepatah itu saya coba gunakan untuk memahami hubungan antara FIFA dan PSSI. Saya yang sebelumnya tidak mengetahui apa-apa mencoba menggali dengan saksama masalah tersebut sampai akarnya.

Ada kemiripan antara pengurus FIFA dan PSSI: Mereka lama berkuasa dan tidak mau turun-turun. Yang lebih penting lagi, dalam urusan duit, FIFA ataupun PSSI dianggap tidak transparan.

Di FIFA, nama wartawan Inggris Andrew Jennings masuk blacklist nomor 1. Alexander Koch, pejabat Bidang Humas FIFA, ketika saya tanya mengenai Jennings tidak bisa menyembunyikan kejengkelan. ”Saya larang dia masuk di lingkungan FIFA. Sebab, sebagai wartawan, dia sangat tidak objektif,” kata Herr Koch gusar.

Bagi dia, apa saja yang ditulis Jennings hanya isapan jempol dan kebohongan belaka. Memang pantas Jennings bikin marah pengurus FIFA. Sebab, dia satu-satunya wartawan yang mampu mendokumentasikan berbagai masalah di FIFA.

Dosa besar Jennings ialah dia menulis buku berjudul Foul! The Secret World of FIFA: Bribes Vote Rigging and Ticket Scandals. Buku itu mengupas habis skandal keuangan dan berbagai persoalan yang membelit FIFA. Dalam ulasan tentang karya Jennings tersebut, koran terkenal di Inggris The Daily Mail menulis, ”Explosive….. An astonishing story of bribery and vote rigging.” Sedangkan Presiden FIFA Sepp Blatter berkomentar kepada Jennings, ”You write fiction.”

Buku Jennings itu di kalangan wartawan serta peminat dan pengamat bola di Inggris sangat berpengaruh. Akibatnya, media di Inggris dicap anti-FIFA. Pun, hasilnya sangat jelas: Inggris gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018, kalah oleh Rusia meski Pangeran Williams ikut turun untuk melobi. Banyak yang heran, kenapa Inggris sampai kalah oleh Rusia. Juga banyak yang mempertanyakan, kenapa Qatar bisa menjadi tuan rumah World Cup 2022.

”Well, kami juga harus mempertimbangkan perkembangan bola di Eropa Timur. Tidak benar semua tuduhan koran Inggris mengenai adanya penyuapan atau permainan dalam penentuan,” kata Koch.

Memang tuduhan atau kritik yang ditulis Jennings tidak main-main. Masalahnya, berbeda dengan tradisi CEO perusahaan atau lembaga penting di Eropa yang selalu mengumumkan gaji pimpinan dan dewan direksi, gaji dan penghasilan presiden FIFA dinyatakan sebagai rahasia. Hanya boleh diketahui komite keuangan organisasi.

Tetapi, dari berbagai sumber, Jennings menuliskan bahwa gaji Blatter 4 juta franc Swiss (CHF) atau hampir Rp 38 miliar. Dalam kontrak juga disebutkan, jika Blatter di-PHK, FIFA harus memberikan kompensasi sebesar CHF 24 juta atau hampir Rp 226 miliar. 

Di luar gaji itu, Blatter masih memiliki sejumlah fasilitas dan pengeluaran yang dibayar FIFA. Tumpangannya saja Mercy terbaik di Swiss. Biaya sewa apartemennya di Zilikon, dekat Zurich, CHF 8.000 per bulan. Jika pergi ke luar wilayah Swiss untuk urusan apa pun, dia dapat sangu sehari USD 500 plus uang makan, uang belanja, dan lain-lain.

Bahkan, Jennings bisa menyebutkan, jas dan belanjaan Blatter di Coop (semacam supermarket Hero di Swiss) juga dibayari FIFA. Masih menurut Jennings, tiket pelesir pacar presiden FIFA yang sudah berusia lebih dari 75 tahun itu –tapi, ora nyebut kata orang Jawa– juga dibayari FIFA.

Blatter menjadi presiden FIFA sejak 1998. Tetapi, belasan tahun sebelumnya dia sudah menjadi Sekjen FIFA. Sama dengan pengurus PSSI yang tidak pernah berganti-ganti. Bisa dikatakan, orangnya ya itu-itu saja. Sepertinya, tidak ada orang Indonesia lain yang bisa mengurus PSSI. Nurdin Halid berkuasa sejak 2003. Sedangkan Sekum PSSI Nugraha Besoes berada di posisinya sejak lama. Seingat saya, sejak saya masih bercelana pendek, dia sudah menjadi pengurus teras PSSI.

Dalam catatan Jennings, Blatter juga sering menyalahi aturan di Swiss. Meski dia tinggal di Kanton Zurich sejak 1975, KTP-nya masih terdaftar di Kanton Valais. Di Swiss, ada perbedaan yang mencolok dari segi perpajakan. Pajak penghasilan di Valais lebih rendah daripada di Zurich. Dengan ber-KTP Valais, pajak yang dibayarkan pun lebih sedikit.

Lalu, masih menurut Jennings, Blatter pun memutuskan mendaftarkan urusan pajaknya di Kanton Appenzell, salah satu kanton terkecil di Swiss yang hanya berpenduduk 15.000 orang dengan pajak paling rendah. Dalam istilah lokal, status Blatter adalah wochenaufenthalter. Terjemahan gampangnya, penduduk Zurich yang hanya tinggal di kota itu selama hari kerja.

Suatu saat reporter dari tabloid Swiss, Blick, datang mengetuk pintu apartemen Blatter di Zurich. Dia menanyakan alamat rumah Blatter di Appenzell, sebagaimana tercatat dalam laporan pajaknya. Ternyata, sampai tiga kali ditanya, presiden FIFA tersebut tidak bisa menyampaikannya dengan benar sampai akhirnya reporter itulah yang menginformasikannya dengan tepat. Dengan kata klain, Blatter hanya pinjam alamat agar pajaknya lebih rendah.

Tentu saja laporan Blick itu mengagetkan banyak pihak. Kantor pajak Zurich akhirnya mengusut kebenaran laporan wartawan Blick. Sedangkan Blatter untuk mencari simpati memberikan kesempatan wawancara khusus kepada koran Walliser Bote, yakni koran lokal tempat kelahirannya di Kanton Valais.

Intinya, isu pengusutan dinas pajak itu tidak benar. Dia juga membantah anggapan bahwa dirinya menjadi sasaran pengusutan atas penyelewengan pembayaran pajak pendapatan. Bahkan, dia berusaha mencari simpati warga local. Sebagai orang asli Valais yang berhasil masuk orbit internasional, wajar dia menjadi sasaran tembak orang-orang di kota besar seperti Zurich.

Membaca bagian cerita itu, saya teringat sebagian usaha Nurdin mencari simpati lokal di Makassar dengan menyatakan bahwa berbagai macam kritik terhadap dirinya tersebut bermotif politik. Tidak pernah diungkap bahwa proses yang terjadi selama ini di PSSI menyalahi aturan FIFA.

Juga, tidak dijelaskan bahwa terjadi pelintiran terhadap statuta organisasi. Seolah-olah para pengurus PSSI sekarang ”menghadapi intervensi pemerintah dan ”dizalimi”. Anggapan dizalimi media dan pemerintah itu akan bisa menjadi alat yang ampuh untuk membela diri. Penampilan memelas sampai menangis di depan Komisi X DPR juga merupakan drama yang sangat mencengangkan.

Walhasil, kekisruhan yang terjadi selama ini di PSSI kini mulai bergeser dari pokok permasalahan: ngototnya pengurus PSSI sekarang untuk mempertahankan Nurdin, yang menurut ketentuan FIFA tidak berhak lagi maju sebagai calon ketua umum PSSI. Persoalannya gampang dan terang benderang. Kalau Nurdin tidak mencalonkan diri lagi dan kongres digelar sesuai dengan aturan, semua masalah beres.

Persoalannya, sekarang ada yang mencoba memelintir aturan yang sudah terang benderang. Lalu, mereka dengan caranya sendiri mencoba menyingkirkan orang-orang yang tidak mereka sukai.

PSSI seolah baru sadar bahwa sekarang tiba-tiba ada pihak lain yang bisa mendapatkan informasi akurat dari FIFA. Selama ini, seolah hanya pengurus PSSI yang mempunyai hak monopoli atas informasi tentang FIFA. Mereka pula yang merasa punya hak khusus untuk menafsirkan informasi dan ketentuan FIFA.

PSSI juga tidak pernah terbuka soal berbagai macam masalah di FIFA. Andai saya tidak ditugaskan untuk mengontak FIFA, saya mungkin juga tidak tahu tentang keruwetan tersebut. Termasuk, kenapa sudah ada surat teguran agar PSSI memperbaiki statutanya dan menggelar pemilihan ulang Ketum pada Juni 2007.

Tentu masyarakat patut mempertanyakan, mengapa semua orang PSSI yang berkuasa sekarang enggan lengser. Memang ada adagium dari Lord Acton yang sangat terkenal bagi siapa pun yang mempelajari ilmu politik: Power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Kekuasaan cenderung pada korupsi.

Pada kekuasaan yang mutlak, korupsinya juga akan semakin besar. Tentu kita tidak mengharapkan korupsi di lingkungan PSSI. Namun, keengganan pengurus untuk diganti secara demokratis juga menimbulkan pertanyaan banyak pihak: Apa saja yang dinikmati para pengurus PSSI itu. Kenapa mereka tidak berebut menjadi pengurus yayasan yatim piatu atau mengurus yayasan penyandang anak cacat?

Sebenarnya, kalau melihat dari record PSSI di bawah Nurdin yang makin memburuk, tidak usah didemo atau diributkan banyak pihak, mestinya dia dengan jiwa kesatria mengundurkan diri. Mungkin seperti yang dibilang nenek saya ketika saya masih kecil untuk menggambarkan situasi seseorang yang ngotot tanpa tahu diri: Ora nduwe isin, Le. Memang isin atau malu itu sekarang, tampaknya, menjadi komoditas yang mahal di antara kita. (bersambung)

Tidak ada komentar: